JAKARTA – Badan Intelijen Negara (BIN) pada masa sebelum meletus peristiwa G30S PKI atau 30 September 1965 dikenal dengan nama BPI (Badan Pusat Intelijen). Dr Soebandrio atau Subandrio menjabat Kepala BPI pada era Pemerintahan Soekarno atau Bung Karno. Ia juga merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam).
Sebagai kepala BPI atau saat ini Kepala BIN, kebijakan Subandrio dinilai berat sebelah. Produk intelijen Subandrio dinilai lebih banyak menguntungkan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Hal itu yang membuat Subandrio selalu dicap sebagai kader PKI. Meski sebelumnya, ia pernah mengutarakan sebagai kader PSI (Partai Sosialis Indonesia), cap PKI pada dirinya melekat lebih kuat.
Produk intelijen Subandrio yang menghebohkan jelang G30S PKI adalah terkait penemuan dokumen Gilchrist. Yakni, dokumen yang lebih banyak menguntungkan PKI dan sekaligus memojokkan Angkatan Darat.
“Penemuan yang ia (Subandrio) lontarkan sebagai dokumen Gilchrist adalah salah satu bukti permainan intelijennya, tapi sekaligus ia juga jadi obyek perang intelijen global, untuk mendukung sasaran-sasaran politisnya mendiskreditkan pimpinan Angkatan Darat,” demikian dikutip dari buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018).
Subandrio lahir di Kepanjen, Malang Jawa Timur 15 September 1914. Karir pendidikannya dimulai dari Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang berhasil ia selesaikan dengan baik.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Subandrio pernah terlibat dalam pasukan anti pendudukan Jepang. Pada masa awal kemerdekaan ia pernah menjabat sebagai sekretaris kementerian informasi.
Sebelum menjabat sebagai Waperdam merangkap kepala BPI, Subandrio pernah menjabat sebagai duta besar di London dan Mokswa. Informasi penemuan dokumen Gilchrist yang disampaikan Subandrio dan dengan cepat beredar di masyarakat, sangat memojokkan Angkatan Darat.
Gilchrist adalah Dubes Inggris di Jakarta yang menulis surat kepada Sekretaris Muda Kementerian Luar Negeri Inggris Sir Harold Cassia.
Dalam dokumen yang ditemukan pada 25 Maret 1965 itu dikatakan adanya sekelompok perwira AD yang akan membantu pasukan Inggris dan Amerika Serikat yang berencana menyerbu Indonesia.
“Beberapa jenderal yang didesas-desuskan tidak loyal kepada Bung Karno itu yang juga diisukan menjalin kerja sama dengan pihak asing”.
Belakangan di kemudian hari, dokumen Gilchrist itu diakui palsu. Pengakuan itu disampaikan oleh Ladislav Bittman, yakni intelijen Departemen D Cekoslovakia yang bekerja sama dengan Rusia, dalam bukunya The Deception Game.
Untuk menghancurkan reputasi Amerika Serikat dan sekaligus mengobarkan kemarahan rakyat Indonesia, Departemen D Cekoslovakia sengaja melakukan penyesatan atau deception informasi.
“Bittman juga mengaku pemerintah Praha menjalin hubungan yang kuat dengan Subandrio”.
Amerika dan Inggris yang membantah adanya dokumen Gilchrist, membalas dengan mempersulit impor kebutuhan pokok Indonesia, yakni terutama beras. Kemudian, juga menekan rupiah yang berakibat nilai tukar valuta asingnya merosot.
Sepak terjang Subandrio dalam menguntungkan PKI tidak hanya soal dokumen Gilchrist. Subandrio juga menghembuskan isu soal Dewan Jenderal, yakni adanya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak loyal kepada Bung Karno.
Berawal dari Dewan Jenderal, kemudian muncul Dewan Revolusi dan meletuslah peristiwa G30S PKI. Pada kemudian hari Subandrio mengaku isu Dewan Jenderal ia peroleh pertama kali dari Kepala Staf BPI Brigjen Pol Sutarto, namun tidak pernah diceknya ulang.
Karier Subandrio sebagai Kepala BPI pasca peristiwa G30S PKI, tamat. Pada 18 Maret 1966, ia ditangkap bersama 12 menteri lain dan ditahan. Enam hari sebelumnya atau 12 Maret 1966 PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang.